FYPMedia.ID – 27 Mei 2025 Tradisi kawin culik atau merariq di Lombok kembali menjadi sorotan usai video pernikahan anak di bawah umur dari Lombok Tengah viral di media sosial. Banyak netizen mempertanyakan: apakah ini bagian dari budaya atau bentuk pelanggaran terhadap hak anak?
Berikut enam fakta penting yang perlu kamu tahu tentang tradisi kawin culik di Lombok, termasuk asal-usul hingga kontroversi yang menyertainya.
1. Kawin Culik di Lombok: Antara Cinta dan “Melarikan”
Dalam bahasa lokal Suku Sasak, merariq berarti “melarikan” seorang perempuan untuk dinikahi. Tradisi ini melibatkan calon pengantin laki-laki yang “menculik” calon istrinya, umumnya pada malam hari dan secara diam-diam.
Meski terkesan seperti penculikan, proses ini biasanya dilakukan atas dasar kesepakatan antara kedua belah pihak. Proses kesepakatan ini disebut midang, yaitu pertemuan atau pendekatan yang biasanya dilakukan malam Kamis atau malam Minggu.
2. Viral! Pernikahan Anak Jadi Sorotan Publik
Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan beredarnya video pernikahan anak di bawah umur di Desa Beraim, Praya Tengah, Lombok Tengah. Dalam video tersebut, tampak dua anak menjalani prosesi pernikahan secara adat, termasuk ritual merariq.
Kepala Dusun Petak Daye I, Syarifudin, mengonfirmasi bahwa memang ada praktik kawin lari yang masih sering dilakukan di wilayahnya. Ia pun menyampaikan permintaan maaf karena video tersebut telah memicu kegaduhan di tengah masyarakat.
Baca Juga: Pernikahan Putra Mahfud MD dan Putri TGB Zainul Majdi: Mengusung Adat Sasak yang Mempesona
3. Asal-usul Tradisi Merariq: Warisan Budaya Ribuan Tahun?
Terdapat dua versi mengenai asal muasal tradisi kawin culik di Lombok:
-
Versi pertama menyebutkan bahwa merariq adalah tradisi asli Suku Sasak yang sudah ada sejak sebelum abad ke-18.
-
Versi kedua menyebutkan bahwa tradisi ini merupakan hasil akulturasi budaya antara Lombok dan Bali, mengingat Lombok pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bali selama hampir satu abad.
Namun hingga kini, belum ada konsensus ilmiah tunggal tentang asal pasti tradisi ini.
4. Prosesi Merariq: Bukan Sekadar “Menculik”
Tradisi kawin culik di Lombok melibatkan beberapa tahapan penting:
-
Midang: Pendekatan atau pertemuan diam-diam antar calon pengantin.
-
Merariq: Proses membawa lari perempuan ke rumah calon suami.
-
Selabar & Majetik: Keluarga pria melapor ke dusun asal perempuan dan membahas langkah selanjutnya.
-
Mbait Wali: Penjemputan wali perempuan untuk prosesi ijab kabul.
-
Sorong Serah: Serah terima antar keluarga mempelai.
-
Nyongkolan: Arak-arakan pengantin pria menuju rumah mempelai perempuan.
Meskipun sudah dianggap sebagai bagian dari budaya, proses ini tetap menuai kritik, terutama ketika dilakukan terhadap anak-anak yang belum dewasa.
5. Jadi Kontroversi karena Melibatkan Anak di Bawah Umur
Permasalahan muncul ketika tradisi ini dijalankan tanpa mempertimbangkan usia dan kesiapan calon pengantin. Dalam kasus viral ini, pengantin perempuan dibawa ke Pulau Sumbawa selama dua hari dua malam sebelum akhirnya dinikahkan.
Padahal, pernikahan anak melanggar Undang-Undang Perkawinan dan Konvensi Hak Anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti bahwa praktik ini bisa menimbulkan degradasi moral dan mengancam masa depan generasi muda.
6. KPAI dan LPA Desak Tindakan Tegas: Budaya Tak Bisa Jadi Alasan
KPAI mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk memberikan efek jera terhadap pihak-pihak yang memfasilitasi pernikahan anak, termasuk orang tua dan tokoh adat. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) juga menilai bahwa motif pernikahan anak ini seringkali didorong oleh beban ekonomi dan harapan untuk meringankan tanggung jawab orang tua.
Tradisi budaya semestinya tidak menjadi alasan untuk membenarkan praktik yang merugikan hak anak. Edukasi, pemberdayaan perempuan, dan penguatan hukum menjadi langkah penting untuk mengakhiri siklus ini.
Baca Juga: Mahalini Hamil, Gelar Tasyakuran Kehamilan Anak Pertama dengan Adat Sunda
Tradisi kawin culik di Lombok memang telah menjadi bagian dari identitas budaya Suku Sasak. Namun, ketika tradisi ini dilakukan tanpa memedulikan usia dan kesiapan mental anak, maka batas antara budaya dan pelanggaran pun menjadi kabur.
Budaya boleh dijaga, tapi hak anak harus tetap dijunjung. Jangan biarkan nilai-nilai kearifan lokal menjadi pembenaran atas pelanggaran yang merusak masa depan generasi muda Indonesia.