FYPMedia.ID – Isu denda damai dalam hukum Indonesia semakin ramai diperbincangkan. Terutama setelah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas mengungkapkan bahwa denda damai bisa diterapkan untuk tindak pidana, termasuk korupsi.
Namun, Kejaksaan Agung, melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Harli Siregar, menegaskan bahwa konsep ini tidak berlaku untuk kasus korupsi.
Berikut adalah lima fakta penting yang perlu Anda ketahui tentang hal ini.
-
Denda Damai Tidak Berlaku untuk Korupsi
Kejaksaan Agung menjelaskan bahwa denda damai hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi, bukan untuk tindak pidana korupsi.
Harli Siregar menyebutkan bahwa hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam Pasal 35 Ayat 1 Huruf k, disebutkan bahwa Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk menangani tindak pidana yang merugikan perekonomian negara, seperti kasus kepabeanan dan perpajakan, dengan menggunakan denda damai.
“Sedangkan penyelesaian Tipikor mengacu pada UU Tipikor, Pasal 2, 3 dan seterusnya,” jelas Harli.
Baca juga: Kebijakan Baru Perjalanan Dinas Luar Negeri Pejabat dan ASN yang Perlu Diketahui
-
Perbedaan antara Tindak Pidana Ekonomi dan Korupsi
Denda damai adalah suatu bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan yang melibatkan pembayaran sejumlah uang untuk menggantikan kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana ekonomi.
Namun, Harli menekankan bahwa tindak pidana korupsi (tipikor) memiliki aturan yang berbeda dan tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme ini.
Denda damai adalah penghentian perkara diluar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung terhadap perkara tindak pidana ekonomi.
Adapun pengertian Tindak Pidana Ekonomi tercantum pada Pasal 1 UU No. 7 Drt 1955. “Kalau dari aspek teknis yuridis, tipikor tidak termasuk yang dapat diterapkan denda damai yang dimaksud Pasal 35 (1) huruf k, kecuali ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi,” kata Harli.
-
Menanggapi Pernyataan Menteri Hukum
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sebelumnya menyatakan bahwa Kejaksaan Agung bisa memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, melalui denda damai.
Dalam pidatonya, Andi menyebutkan bahwa hal tersebut bisa dilakukan meskipun tanpa persetujuan Presiden.
Namun, Harli Siregar menanggapi bahwa kewenangan tersebut hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi, bukan untuk kasus korupsi.
Hal ini menunjukkan adanya perbedaan interpretasi antara pemerintah dan Kejaksaan Agung mengenai penerapan denda damai.
Baca juga: Skandal Pemerasan di DWP 2024: 18 Polisi Terlibat, Rp2,5 Miliar Disita
-
Denda Damai Terkait dengan UU Darurat 1955
Kejaksaan Agung merujuk pada Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi sebagai dasar hukum denda damai.
Pasal ini memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi.
Harli mengatakan, pada Pasal 35 Ayat 1 Huruf k UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan, Jaksa Agung mempunyai tugas dan kewenangan menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
“Denda damai yang dimaksud dalam pasal ini adalah untuk UU sektoral yang merugikan perekonomian negara dan termasuk dalam tindak pidana ekonomi, misalnya, tindak pidana kepabeanan, cukai dan lainnya. Sedangkan penyelesaian tipikor mengacu pada UU Tipikor, Pasal 2, 3 dan seterusnya,” kata Harli saat dimintai komentarnya soal pernyataan Menteri Hukum, Kamis, (26/12/2024), dilansir dari Tempo.com.
-
Pemberian Pengampunan oleh Presiden
Selain Kejaksaan Agung, Presiden juga memiliki kewenangan untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku tindak pidana, termasuk koruptor.
Namun, hal ini tetap harus berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Menteri Hukum menyatakan bahwa pengampunan ini bisa diberikan kepada pelaku yang mengembalikan uang yang dicuri, sebagaimana disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Meskipun demikian, pengampunan untuk koruptor melalui denda damai masih menjadi perdebatan di kalangan pejabat pemerintah.
(Oda/Ldy)