FYPMedia. ID – Baru-baru ini, masyarakat medis dan publik dikejutkan oleh kasus hukum yang melibatkan seorang dokter residen anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) yang diduga melakukan tindakan asusila terhadap kerabat pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Dokter berinisial PAP ini dilaporkan sempat melakukan upaya bunuh diri sebelum akhirnya ditangkap oleh pihak kepolisian.
Kejadian ini membuka kembali diskusi serius mengenai kesehatan mental tenaga medis, tekanan dalam pendidikan profesi dokter spesialis, serta tanggung jawab etika dalam praktik kedokteran. Artikel ini mencoba memberikan tinjauan dari perspektif medis dan etika profesional terhadap implikasi kasus ini.
1. Kesehatan Mental Tenaga Medis
Tenaga medis, khususnya dokter residen, berada di bawah tekanan psikologis yang luar biasa. Mereka dituntut untuk bekerja dalam lingkungan yang serba cepat, penuh risiko, dan menuntut konsentrasi tinggi, sambil tetap memenuhi tuntutan akademik dan administratif yang tidak ringan.
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan kecemasan dan depresi di kalangan dokter muda sangat tinggi. Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association (JAMA) pada 2015 mencatat bahwa sekitar 29% residen melaporkan gejala depresi selama masa pelatihan mereka. Burnout—yang mencakup kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian pribadi—juga menjadi isu utama dalam komunitas medis global.
Dalam kasus PAP, upaya bunuh diri yang dilakukan sebelum penangkapan menunjukkan adanya tekanan psikologis yang ekstrem. Meski demikian, penting untuk ditegaskan bahwa kondisi mental yang tidak stabil tidak dapat dijadikan justifikasi atau pembenaran atas tindakan kriminal, terutama yang menyangkut pelanggaran hak dan keselamatan orang lain. Hal ini justru menjadi indikator bahwa sistem pendidikan kedokteran di Indonesia perlu memperkuat mekanisme dukungan psikologis, skrining kesehatan mental, serta menyediakan jalur pelaporan dan bantuan yang aman bagi mahasiswa dan residen.
2. Pelanggaran Etika Kedokteran
Etika kedokteran merupakan pilar utama dalam praktik medis. Prinsip-prinsip seperti beneficence (berbuat baik), non-maleficence (tidak membahayakan), autonomy (menghormati pilihan pasien), dan justice (keadilan) harus dijunjung tinggi oleh setiap dokter dalam menjalankan tugasnya.
Tindakan pelecehan seksual terhadap kerabat pasien bukan hanya pelanggaran etik, tetapi juga merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam relasi profesional. Dalam relasi klinis, pasien dan keluarganya berada dalam posisi rentan, dan dokter memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepercayaan dan memberikan rasa aman.
Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), setiap dokter wajib menjaga martabat profesi dan tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan pasien maupun keluarganya, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Kasus ini menunjukkan pelanggaran berat terhadap prinsip tersebut, dan menjadi alasan kuat untuk memperkuat pelatihan serta pengawasan terhadap integritas moral calon spesialis selama pendidikan klinis.
3. Implikasi Institusional dan Tanggung Jawab Akademik
Institusi pendidikan kedokteran, termasuk FK Unpad dan rumah sakit pendidikan seperti RSHS, memiliki tanggung jawab ganda: mendidik dokter secara akademik dan membentuk karakter profesional yang berintegritas.
Insiden ini menggarisbawahi pentingnya penguatan sistem seleksi mahasiswa program spesialis—tidak hanya berdasarkan capaian akademik, tetapi juga aspek psikologis dan perilaku. Selain itu, program pembinaan etika yang berkelanjutan, supervisi lapangan yang ketat, serta jalur evaluasi moral dan profesionalisme secara berkala perlu diimplementasikan secara sistematis.
Tidak kalah penting adalah peran rumah sakit sebagai tempat praktik klinis. RSHS dan institusi sejenis harus memiliki protokol pencegahan dan penanganan kasus pelecehan, termasuk mekanisme pelaporan yang aman dan responsif bagi korban.
4. Aspek Hukum dan Perlindungan Korban
Dari sisi hukum, kasus ini tengah ditangani oleh aparat penegak hukum dan akan diproses berdasarkan KUHP serta kemungkinan merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak jika korban terbukti di bawah umur. Penanganan yang cepat dan tegas menjadi penting, bukan hanya untuk memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa pelanggaran etik oleh tenaga kesehatan tidak akan ditoleransi.
Penegakan hukum juga berperan dalam menjaga kepercayaan publik terhadap profesi medis. Dalam era keterbukaan dan media sosial, satu kasus dapat berdampak besar terhadap persepsi masyarakat secara umum. Oleh karena itu, komunikasi yang transparan dan profesional dari pihak institusi menjadi sangat penting untuk menghindari bias dan generalisasi negatif terhadap profesi dokter secara keseluruhan.
Kasus residen anestesi FK Unpad ini menjadi cerminan kompleksitas dunia kedokteran yang tidak hanya berkutat pada kecakapan klinis, tetapi juga keseimbangan mental dan integritas moral pelakunya. Ini merupakan peringatan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pendidikan kedokteran—universitas, rumah sakit, pemerintah, dan organisasi profesi—untuk bersama-sama membangun sistem yang tidak hanya mencetak dokter yang kompeten secara ilmiah, tetapi juga beretika, manusiawi, dan berdaya tahan psikologis.
Masa depan profesi kedokteran terletak pada kualitas sumber dayanya—baik dari aspek pengetahuan, keterampilan, maupun karakter. Dan membangun karakter adalah investasi jangka panjang yang tak bisa dikesampingkan oleh sistem pendidikan kedokteran yang modern.