FYP Media.id – Pada Kamis, 8 Mei 2025 – Sudah lima musim berlalu sejak terakhir kali Arsenal mengangkat trofi. Harapan demi harapan telah ditanam, namun panennya terus tertunda. Terbaru, tim asuhan Mikel Arteta kembali harus menelan pil pahit setelah disingkirkan Paris Saint-Germain (PSG) di semifinal Liga Champions 2024/2025. Kekalahan ini sekaligus memperpanjang puasa gelar The Gunners dan membuktikan bahwa mereka masih belum cukup matang untuk bersaing di level tertinggi Eropa.
Laga Penuh Harap, Berujung Kekecewaan
Semifinal Liga Champions musim ini menjadi panggung yang dinanti para penggemar Arsenal. Banyak yang percaya, inilah musim di mana Arsenal bisa menghapus dahaga prestasi yang telah lama menghantui mereka. Namun, mimpi itu kembali terhenti setelah kekalahan agregat 1-3 dari PSG.
Leg kedua yang berlangsung di Parc des Princes pada Kamis (8/5/2025) dini hari waktu Indonesia menjadi saksi runtuhnya harapan Arsenal. Meski sempat menyamakan skor lewat Bukayo Saka, dua gol dari Fabian Ruiz dan Achraf Hakimi membawa PSG unggul dalam pertandingan dan memastikan langkah mereka ke final.
Kegagalan ini terasa menyakitkan karena Arsenal sebenarnya tampil cukup baik. Mereka tidak tampil inferior, tapi tetap tidak cukup efisien di momen-momen penting. PSG bermain lebih tenang, lebih efektif, dan tahu kapan harus menusuk.
Rekam Jejak yang Tak Kunjung Membaik
Dengan hasil ini, Arsenal resmi mencatatkan lima musim tanpa satu pun trofi mayor. Terakhir kali mereka meraih gelar adalah saat menjuarai Piala FA musim 2019/2020. Sejak saat itu, The Gunners terus mencoba, namun gagal.
Di ajang Premier League, Arsenal memang konsisten berada di papan atas, bahkan menjadi runner-up dua musim berturut-turut. Tapi menjadi yang terbaik tetap terasa seperti mimpi yang sulit dicapai. Musim ini pun, Arsenal kembali harus mengakui keunggulan rival mereka, Liverpool, dalam perburuan gelar juara liga.
Kutukan Eropa yang Masih Melekat
Arsenal juga belum pernah mencicipi kembali final Liga Champions sejak penampilan mereka yang legendaris pada 2005/2006. Saat itu pun, mereka harus menyerah dari Barcelona di Stade de France, Paris. Ironisnya, kekalahan dari PSG kali ini terjadi di kota yang sama, seolah mempertegas bahwa Paris masih menjadi tempat penuh luka bagi tim London Utara itu.
Menurut data UEFA, Arsenal juga menyimpan rekor buruk ketika kalah di kandang pada leg pertama dalam kompetisi Eropa. Dalam lima kesempatan terakhir di mana mereka mengalami kekalahan kandang lebih dulu, tak satu pun berujung comeback.
PSG dan DNA Eropa yang Kian Terbentuk
Sebaliknya, PSG kembali menunjukkan bahwa mereka mulai memiliki “DNA Eropa” meski belum pernah menjadi juara Liga Champions. Klub asal Paris itu sudah 18 kali sukses melaju ke babak selanjutnya setelah unggul di leg pertama. Hanya satu kali mereka gagal mempertahankan keunggulan—saat disingkirkan Manchester United pada musim 2018/2019.
Keberhasilan PSG kali ini bukan hanya menyingkirkan Arsenal, tapi juga semakin mempertegas posisi mereka sebagai salah satu kekuatan Eropa yang patut diperhitungkan. Meski belum meraih trofi yang paling didambakan itu, mereka kini memiliki konsistensi dan mentalitas yang tampaknya belum dimiliki Arsenal.
Harapan Tak Pernah Mati, Tapi Butuh Pembuktian
Kekecewaan suporter Arsenal tentu tidak bisa dihindari. Musim ini menjadi satu lagi catatan pahit dalam perjalanan panjang yang dipenuhi harapan besar namun hasil yang mengecewakan. Banyak yang menilai bahwa Arsenal memiliki skuad potensial dan pelatih dengan visi yang baik, namun ketika berada di panggung terbesar, mereka tampak kehilangan ketajaman dan insting juara.
Perjalanan Arsenal ke semifinal sejatinya patut diapresiasi. Namun ekspektasi di klub sebesar ini tidak hanya soal tampil baik—tapi menang. Puasa lima musim tanpa trofi menjadi cerminan betapa masih jauhnya Arsenal dari status tim juara sejati.
Titik Balik atau Jalan Buntu?
Kegagalan di semifinal Liga Champions ini bisa menjadi titik balik atau justru jalan buntu bagi Arsenal. Mikel Arteta harus segera mengevaluasi timnya, bukan hanya soal taktik, tapi juga mental dan kualitas individu. Klub juga perlu mendukung penuh sang pelatih dalam bursa transfer untuk menambah kedalaman dan kualitas skuad.
Musim depan, tantangannya tidak akan lebih mudah. Rival semakin kuat, tekanan semakin besar, dan para penggemar semakin haus akan kemenangan yang nyata. Apakah Arsenal mampu menjawab itu semua? Atau akan terus terjebak dalam lingkaran ‘hampir juara’?
Satu hal yang pasti: lima musim tanpa gelar bukan hanya statistik, tapi refleksi dari masalah yang lebih dalam—dan hanya kerja keras serta perubahan konkret yang bisa mengubahnya. Arsenal boleh saja jatuh, tapi mereka tidak bisa terus-menerus gagal bangkit.
“Mungkin tahun depan.” Kalimat itu sudah terlalu sering diucapkan para pendukung Arsenal. Kini saatnya untuk mengubahnya menjadi, “Tahun ini milik kami.” Tapi itu hanya mungkin terjadi jika mereka benar-benar belajar dari lima musim yang telah berlalu.