FYP Media.ID – Jum’at, 2 Mei 2025 – Sebanyak 39 siswa dari salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Purwakarta dikirim ke sebuah barak militer untuk menjalani pelatihan kedisiplinan. Kebijakan ini menuai sorotan tajam setelah satu siswa dilaporkan kabur dari lokasi pelatihan dan menolak untuk kembali. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai metode pendidikan dan batasan dalam pembinaan siswa di lingkungan sekolah.
Menurut informasi yang dihimpun, para siswa tersebut dikirim oleh pihak sekolah ke tempat pelatihan semi-militer di kawasan Wanayasa, Purwakarta. Tujuannya, menurut kepala sekolah, adalah untuk membentuk karakter, meningkatkan kedisiplinan, dan memberikan pengalaman pembinaan fisik dan mental kepada para siswa yang dinilai “bermasalah secara perilaku”.
Namun, situasi menjadi panas ketika seorang siswa laki-laki kabur dari lokasi pelatihan pada hari ketiga. Ia ditemukan oleh warga di sekitar lokasi dalam kondisi kelelahan dan menangis. Siswa tersebut mengaku mengalami tekanan mental, tidak sanggup mengikuti kegiatan fisik yang berat, dan merasa tidak diberi ruang untuk menyampaikan keluhan.
“Saya tidak tahan. Tiap hari disuruh lari, push-up, dan teriak-teriak. Kalau telat bangun, dihukum jongkok sampai kaki gemetar. Saya cuma mau sekolah biasa, bukan masuk tentara,” ujarnya dalam video wawancara yang kini viral di media sosial.
Kejadian ini sontak memicu reaksi publik. Warganet dan sejumlah pemerhati pendidikan mengecam keras kebijakan sekolah tersebut, yang dianggap menerapkan praktik militerisme terhadap siswa di bawah umur tanpa pendekatan edukatif yang manusiawi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut angkat bicara. Menurut KPAI, tindakan membawa siswa ke barak militer dan menjalani pelatihan fisik intensif tanpa persetujuan tertulis dari orang tua dapat masuk kategori pelanggaran hak anak.
Baca Juga : Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi Mendapat Ancaman Pembunuhan: Tetap Teguh Melayani Rakyat
“Pendidikan harus bersifat mendidik, bukan menghukum. Apalagi jika anak-anak ini tidak diberikan pilihan atau pemahaman yang jelas terkait kegiatan yang dijalankan. Ini harus diusut,” kata Jasra Putra, Komisioner KPAI bidang hak sipil dan partisipasi anak.
Di sisi lain, pihak sekolah membela kebijakannya. Kepala sekolah menyebut bahwa pengiriman siswa ke barak militer dilakukan dengan tujuan baik. “Kami ingin anak-anak lebih disiplin, bisa menghargai waktu, dan lebih fokus pada masa depan mereka. Banyak dari mereka terlibat perkelahian, bolos sekolah, hingga merokok di lingkungan sekolah,” ujarnya.
Kepala sekolah juga menyatakan bahwa program ini sudah mendapat persetujuan lisan dari sebagian besar orang tua siswa. Namun, pengakuan orang tua justru berbeda. Beberapa orang tua mengaku tidak tahu-menahu soal pengiriman anak mereka ke pelatihan militer.
“Saya tahunya anak saya ikut kegiatan sekolah, semacam camping atau pelatihan biasa. Saya kaget pas tahu ternyata mereka dibawa ke tempat pelatihan militer dan disuruh bangun jam 4 pagi setiap hari,” kata orang tua salah satu siswa.
Kontroversi ini memperlihatkan ketimpangan persepsi antara tujuan pembinaan sekolah dan hak-hak siswa dalam lingkungan pendidikan. Banyak pihak menilai, sebaik apa pun niat pihak sekolah, tidak seharusnya siswa dipaksa mengikuti metode pelatihan fisik ala militer, terlebih tanpa konsultasi dan persetujuan resmi dari wali murid.
Aktivis pendidikan dari Yayasan Cahaya Pendidikan Nusantara, Lusi Handayani, menilai pendekatan disiplin semacam ini sudah usang dan tidak sesuai dengan prinsip pembelajaran abad ke-21. “Kalau kita ingin siswa disiplin, bangunlah sistem yang mendukung mereka: komunikasi yang terbuka, sistem penghargaan dan evaluasi, serta pembinaan berbasis empati, bukan ketakutan,” ujarnya.
Pemerintah daerah Purwakarta hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi, namun Dinas Pendidikan disebut sedang melakukan investigasi dan akan memanggil pihak sekolah untuk dimintai keterangan.
Sementara itu, 38 siswa lainnya masih menjalani pelatihan di lokasi tersebut. Belum jelas apakah program akan dihentikan atau dilanjutkan. Orang tua siswa pun mendesak pemerintah bertindak cepat untuk memastikan keselamatan anak-anak mereka.
Kejadian ini membuka kembali perdebatan lama mengenai cara terbaik dalam mendisiplinkan siswa. Apakah metode keras seperti pelatihan militer efektif, atau justru merusak psikologis anak? Apakah pembentukan karakter harus selalu melalui jalur ketegasan ekstrem?
Psikolog pendidikan, Dr. Indira Cahyaningrum, mengingatkan bahwa usia remaja adalah usia rentan di mana pendekatan berbasis kekerasan justru bisa menimbulkan efek trauma dan pemberontakan.
“Kalau anak merasa dipaksa dan tidak didengarkan, ia justru akan makin memberontak. Disiplin tanpa dialog adalah jalan pintas yang bisa berdampak buruk dalam jangka panjang,” ujarnya.
Menanggapi isu ini, Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta segera membentuk tim khusus untuk menyelidiki prosedur pelaksanaan program pelatihan tersebut. Kepala Dinas Pendidikan, Drs. Dedi Santosa, menyatakan bahwa pihaknya akan meninjau legalitas dan etika kegiatan tersebut.
“Sekolah tidak bisa sembarangan menerapkan metode pelatihan, apalagi jika berkaitan dengan pelibatan pihak eksternal seperti pelatih militer. Kami akan mengecek apakah ada pelanggaran administrasi, etik, maupun hak anak,” ujar Dedi.