FYPmedia – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah merambah berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia politik. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan AI dalam kampanye politik menunjukkan tren yang terus meningkat, tidak hanya sebagai alat bantu komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen yang memengaruhi opini publik secara masif. Salah satu bentuk penggunaan yang menjadi perhatian serius adalah teknologi deepfake, yang mampu merekayasa suara dan visual tokoh politik secara realistis.
Fenomena ini mulai terlihat jelas dalam Pemilu 2024 di Indonesia. Sejumlah kandidat maupun partai politik diketahui menggunakan teknologi AI generatif untuk menciptakan konten visual dan audio yang menggugah emosi pemilih. Video animasi, wajah digital hasil manipulasi, bahkan suara tiruan dari tokoh-tokoh publik digunakan untuk memperkuat narasi kampanye. Salah satu video deepfake yang sempat viral memperlihatkan tokoh nasional yang telah wafat tampak “berbicara” mendukung partai tertentu. Meskipun konten ini diklaim hanya untuk kepentingan hiburan dan nostalgia, banyak pihak menilai penggunaannya sebagai bentuk manipulasi informasi.
Dalam konteks politik, keberadaan deepfake menjadi ancaman ganda. Di satu sisi, teknologi ini bisa digunakan untuk memperkuat strategi komunikasi dan menjangkau generasi muda yang akrab dengan konten digital. Namun di sisi lain, potensi penyalahgunaannya sangat besar, mulai dari menyebarkan hoaks, menjatuhkan lawan politik, hingga memanipulasi ingatan kolektif masyarakat. Kasus beredarnya video palsu yang menampilkan tokoh tertentu memberikan pernyataan kontroversial telah beberapa kali terjadi, dan menimbulkan kebingungan luas di tengah publik.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada regulasi khusus yang secara tegas mengatur penggunaan AI dalam ranah politik. Mahkamah Konstitusi memang sempat menyatakan bahwa kampanye tidak boleh memanipulasi informasi visual secara berlebihan, namun belum ada standar teknis atau definisi hukum yang mengikat untuk mengatur penggunaan AI deepfake. Hal ini membuka celah bagi penyalahgunaan, terutama ketika digunakan secara masif dan tanpa transparansi.
Kekhawatiran terhadap penggunaan AI dalam politik bukan hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara seperti Amerika Serikat, India, dan Brasil juga menghadapi tantangan serupa dalam pemilu mereka. Dunia internasional mulai mendorong kebijakan perlindungan informasi publik dengan mengharuskan label “AI-generated” pada konten digital, serta investasi besar-besaran dalam teknologi deteksi deepfake.
Pakar komunikasi politik menyatakan bahwa penggunaan AI dalam kampanye politik adalah keniscayaan di era digital. Namun, penggunaannya harus diimbangi dengan regulasi yang adil, keterbukaan informasi, dan peningkatan literasi digital masyarakat. Tanpa itu, AI dapat menjadi alat yang merusak nilai demokrasi, memecah belah masyarakat, dan menurunkan kepercayaan terhadap proses pemilu.
Di tengah maraknya pemanfaatan AI, masyarakat diharapkan tetap waspada dan kritis dalam menerima informasi politik. Menumbuhkan kesadaran terhadap pentingnya sumber informasi yang valid, serta mengenali ciri-ciri manipulasi digital, menjadi langkah awal untuk menjaga kualitas demokrasi di era teknologi tinggi. Masa depan politik digital Indonesia sangat bergantung pada bagaimana negara dan masyarakat mengelola kemajuan ini—apakah akan menjadi alat kemajuan atau justru senjata disinformasi. (ra)