FYPmedia.id – Di balik geliat pembangunan dan perkembangan teknologi yang pesat, Indonesia tengah menghadapi masalah klasik yang semakin kompleks: pengangguran. Bukan sekadar isu ekonomi, gempuran pengangguran di Indonesia kini menjadi tantangan serius—terutama bagi generasi muda. Ironisnya, justru kelompok usia produktif yang paling terdampak.
Di era yang katanya penuh peluang ini, ternyata tidak semua bisa memetik hasilnya. Lulusan SMA, SMK, bahkan perguruan tinggi masih banyak yang menganggur berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, setelah wisuda. Pertanyaannya: kenapa bisa? Dan apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda agar tidak ikut terseret arus ini?
Angka Pengangguran Muda Masih Tinggi
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia berada di angka sekitar 5,3%. Tapi jika dilihat lebih detail, kelompok usia 15–24 tahun adalah penyumbang tertinggi dalam angka pengangguran nasional. Ini artinya, para lulusan baru atau fresh graduate justru paling rentan tidak mendapat pekerjaan.
Banyak dari mereka sebenarnya sudah memiliki ijazah, bahkan keahlian teknis. Namun, ada jurang besar antara kompetensi yang dimiliki lulusan dengan kebutuhan dunia kerja saat ini. Ditambah lagi dengan persaingan kerja yang makin ketat, otomatis banyak anak muda yang terjebak dalam status “menganggur berkepanjangan.”
Gelar Tak Lagi Menjamin
Dulu, banyak orang tua berkata, “Yang penting kuliah, nanti pasti kerja.” Tapi sekarang, gelar saja tidak cukup. Dunia kerja kini menuntut lebih dari sekadar IPK tinggi. Soft skill, pengalaman organisasi, portofolio, hingga kemampuan beradaptasi menjadi faktor penentu.
Banyak perusahaan lebih tertarik pada kandidat yang punya kemampuan komunikasi baik, mampu kerja tim, dan punya inisiatif—walaupun IPK-nya biasa saja. Apalagi di era digital, skill seperti content creation, data analysis, digital marketing, dan UI/UX design jauh lebih dibutuhkan daripada sekadar hafal teori.
Digitalisasi: Peluang atau Ancaman?
Masuknya teknologi ke segala lini kehidupan seharusnya jadi peluang. Tapi di sisi lain, otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI) juga mulai menggantikan peran-peran kerja manusia. Beberapa jenis pekerjaan mulai hilang atau berkurang drastis. Misalnya, pekerjaan kasir, customer service manual, hingga administrasi dasar kini mulai tergantikan oleh mesin dan sistem otomatis.
Tapi jangan panik dulu. Di balik ancaman itu, ada peluang baru yang muncul. Digitalisasi membuka jalan karier sebagai freelancer, content creator, dropshipper, virtual assistant, bahkan pengembang aplikasi. Sayangnya, tidak semua anak muda siap dengan skill digital yang dibutuhkan. Banyak yang masih stuck di zona nyaman dan belum update dengan kebutuhan zaman.
Solusi: Adaptif, Kreatif, dan Terus Belajar
Menghadapi gempuran pengangguran, generasi muda butuh senjata: kreativitas, fleksibilitas, dan semangat belajar seumur hidup (lifelong learning). Jangan cuma andalkan ijazah. Mulailah belajar skill baru lewat kursus online, magang, relawan, atau bahkan membangun portofolio dari proyek pribadi.
Jangan takut mulai dari nol. Banyak pekerja sukses sekarang memulai dari posisi kecil, bahkan dari usaha rumahan atau freelance. Buat kamu yang merasa belum punya arah, mulailah dari hal kecil yang kamu sukai. Entah itu desain, nulis, coding, fotografi, atau jualan online—semua bisa jadi jalan asal ditekuni.
Kesimpulan: Jangan Tunggu Kesempatan, Ciptakan Kesempatan
Pengangguran adalah tantangan nyata yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengeluh atau menyalahkan sistem. Tapi sebagai anak muda, kamu bisa memilih: ikut hanyut dalam arus atau berenang dan menciptakan jalan sendiri. Di era digital ini, kesempatan tidak datang kepada yang paling pintar, tapi kepada yang paling siap dan gesit. (ryd)